ASMAT: SENI BUDAYA
Oleh: Bonifasius Jakfu
Komunitas Suku Asmat memandang kehidupan menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah dunia hidup atau Asmat ow capinmi, bagian kedua adalah tempat persinggahan orang-orang yang sudah meninggal dan belum memasuki tempat istirahat kekal di safar—surga—yang disebut dampu ow capinmi. Roh-roh yang tinggal di dampu ow capinmi adalah penyebab penyakit, penderitaan, gempa bumi, dan peperangan. Orang-orang yang masih hidup harus menebus roh-roh ini dengan membuat pesta-pesta dan ukiran serta memberinya nama agar mereka dapat masuk ke alam safar—yang merupakan tujuan akhir, bagian ketiga dari kehidupan orang Asmat.
Selain sebagai tujuan akhir dari kehidupan orang Asmat, safar juga diyakini sebagai tempat asal roh-roh bayi. Bayi-bayi tersebut pada mulanya masuk melalui jiwi jof, yaitu pintu tempat mereka masuk ke dunia ini. Setelah dewasa dan kemudian meninggal, maka mereka akan melaui jamir jof , yang merupakan jalan menuju dunia akhir. Anak-anak yang lahir melalui jiwi jof merupakan penjelmaan orang-orang yang sudah meninggal. Mereka adalah pribadi baru yang bernama yuwus, yang berarti “nama” yang bagi orang Asmat adalah roh dari pribadinya. Dengan memberi nama pada sebuah ukiran, berarti roh dan pribadi tersebut masuk ke dalam ukiran itu. Dengan demikian, ukiran tersebut merupakan pribadi itu sendiri. Atas dasar kepercayaan terhadap roh leluhur yang telah menetap di dampu ow capinmi, maka tangan sang wowipits —pengukir— bergerak mengikuti naluri untuk menciptakan maha karya yang menyebabkan seni ukir Asmat menjadi amat masyur. Satu hal yang layak dicermati, bahwa pengukir dari komunitas Suku Asmat telah menghadirkan suatu hasil karya seni tanpa motif. Motif ukiran Asmat telah menyatu dalam alam pikiran sang pengukir.
Adapun bahan dasar serta perlengkapan ukiran diperoleh dengan memanfaatkan hasil alam yang telah berada di sekitar lingkungan tempat tinggal. Bahan dasar serta perlengkapan mengukir berkembang secara perlahan melalui dua fase. Pertama, fase fumirian, adalah fase ketika pengukir mengungkapkan rasa estetis melalui tindakan mengukir pada media kayu dengan peralatan tulang belulang binatang, ukiran bernilai kultus sesuai legenda Fumiripits. Fase fumirian berlangsung selama masa prasejarah dan berakhir ketika Wilayah Asmat terbuka terhadap dinamika interaktif awal dengan dunia luar. Para pengukir sangat bersahaja, mandiri tanpa kondisi intimidatif kepentingan pihak lain. Konteks ukiran mengandung nilai tabu, subjek adalah laki-laki, bukan perempuan, serta orang dewasa, bukan kawula muda. Tradisi fumirian secara lambat laun tetapi pasti mengalami perubahan intensif kurang lebih pada akhir dekade enam puluhan di wilayah pantai dan di awal dekade tujuh puluhan hingga pertengahan tahun delapan puluhan di wilayah pedalaman.
Pemilihan bahan dasar ukiran sangat penting, karena sangat berpengaruh terhadap hasil ukiran, bahwa di zaman leluhur, bahan baku kayu yang lazim adalah:
– juam os —kayu pantai
– os —kayu pala hutan
-jiran os —kayu ketapang
-sur/toaper os—kayu susu
-ci os —kayu perahu
Pemilihan bahan dengan jenis pohon termaksud merupakan suatu kebijaksanaan yang didukung oleh pengetahuan lokal sekalian pengukir tentang sifat pohon tersebut. Jenis pohon ini memiliki keunggulan tersendiri, semasa bertumbuh pohon memiliki kandungan air yang tinggi serta serat yang lembek, memudahkan teknis pengukiran dengan peralatan yang tersedia kala itu. Keuntungan lain adalah, ukiran dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama —bila perawatan dilakukan dengan baik. Serat kayu yang semula berair serta lembek setelah melalui proses vermentasi alami akan mengalami penyusutan seiring perubahan waktu, kemungkinan percepatan pelapukan dan ganguan serangga perusak kayu relatif kecil.
Kedua fase postfumiran, adalah tahap ketika para pengukir mengungkapkan nilai estetis dan menyatakan eksistensi diri mereka dengan menggunakan bahan dan alat yang tidak dikultus. Bahwa para seniman pahat mulai meninggalkan tradisi lama. Oleh karena telah terlibat secara tetap dan terus menerus dalam dinamika perubahan global yang terjadi, fase postfimirian ini, ditandai dengan gempuran terhadap tradisi lama, termasuk cara berpikir dan motivasi yang mendorong penciptaan karya seni ukir Asmat. Pemilihan kayu sebagai bahan dasar pembuatan ukiran patung Asmat sudah dapat dipilih secara bebas oleh pengukir, bahkan acapkali berdasarkan permintaan konsumen—pemesan. Beberapa jenis kayu yang biasanya digunakan untuk membuat ukiran di fase postfumirian antara lain: kayu pas –kayu besi atau merbau, kayu pit—pit, gempol, matoa, dan linggua. Sementara alat yang digunakan sudah jauh lebih berkualitas karena bentuk dan ukuran sangat bervariasi serta bahan dasar dari besi dan baja.
Adapun motif ukiran terdiri atas motif manusia, binatang, benda langit, tumbuhan. Adalah lingkungan hidup yang berada di seputar lingkungan Asmat dengan beragam motif sesuai dengan masing-masing rumpun.
Disamping seni ukir maka Asmat memiliki pula seni musik, suatu unsur seni yang sangat penting dalam kehidupan suku-suku bangsa. Seni musik memberikan penghiburan sekaligus menegaskan karakter serta identitas suatu suku bangsa. Melalui seni musik manusia dari berbagai etnis mengungkapkan perasaan dengan pola ritmik yang khas serta merdu. Ungkapan perasaan duka cita dalam suasana berkabung terlantun dalam irama musik yang sendu, berbeda dengan ritme musik pengucapan syukur atas pencapain prestasi hidup yang berirama cepat. Adapun romantisme melantunkan irama musik berbeda dalam ritme nan lembut mendayu. Komunitas Suku Asmat menggungkapkan beragam perasaan melalui seni dengan memainkan beragam jenis alat musik. Ragam alat musik termaksud adalah
(1). Em —tifa,
(2). Fu—terompet bambu,
(3). Ci Pokom –suara ketukan perahu,
(4) Sini Ufu –kulit bia.
Setelah seni ukir dan seni tari, khasanah kesenian Asmat dilengkapi pula dengan lagu daerah:
Sow
Dalam kearifan seni budaya Asmat, sow merupakan lagu yang dilantunkan bagi pendengar dengan iringan musik tifa. Sow mengungkapan pujian atau kekaguman adat akan kearifan alam semesta—roh yang melibatkan diri dalam kehidupan manusia, atau kekaguman terhadap tokoh-tokoh legendaris dalam sejarah. Sow juga dilantunkan pada kesempatan mengungkapkan penyesalan—pengakuan atas perilaku yang bersifat asusila atau tidak etis terhadap roh, sesama manusia, hewan, dan tumbuhan yang secara implisit tersirat dalam teks lagu yang dibawakan. Sow sesungguhnya lantunan lagu pengharapan hidup, doa kepada hadirat yang lain untuk sebaliknya berharap mendapatkan respon balik terhadap intensi-intensi yang disampaikan. Sow dinyanyikan pada siang maupun malam hari sesuai dengan kepentingan atau hajatan tertentu baik perorangan maupun bersama. Secara skematis sow dilantunkan sebagai lagu yang monoton, selalu dinyanyikan pada seluruh rangkaian upacara, mengawali, sekaligus menutup.
Sow dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu je aman sow, cesen sow/jipae sow, dan tii sow. Je amansow adalah lagu dengan iringan tifa yang khusus dinyanyikan pada upacara ritual pesta di jee –rumah adat. Secara historis lagu ini memiliki legenda khusus, yang kaku dan dan bersifat tabu—pemali, dapat menimbulkan ancaman bagi pihak yang melanggar. Komunitas adat Asmat tidak bisa melantunkan je amansow pada waktu dan tempat yang tidak sesuai dengan syarat dalam kearifan budaya setempat.
Cesen sow merupakan lagu yang sering dinyanyikan para seniman Asmat dengan iringan tifa pada malam hari di luar dan atau di dalam rumah adat. Lantunan lagu Cesen sow dengan iringan tifa, secara historis lagu adat tersebut memiliki makna yang berkaitan dengan kehidupan komunitas sekarang. Artinya lagu yang dinyanyikan adalah ciptaan para penyanyi senior yang duduk dalam lingkaran penyanyi utama di wair.
Sedangkan Jipae sow adalah lantunan lagu dengan iriangan tifa, dari sudut sejarah lagu adat termaksud bermaknanya dan berkaitan erat dengan pesta atau upacara Jipae. Pesta Jipae adalah satu upacara yang diselenggarakan komunitas Suku Asmat pada beberapa rumpun —Sirau, Bismam, Simai, Joerat, Becbup, dan Kaimojiwin, untuk menghadirkan kembali roh kerabat yang telah meninggal dunia agar memberikan dukungan dalam berbagai usaha hidup di dunia. Sedangkan Tiisow adalah lagu yang lazim dinyanyikan dalam komunitas adat Asmat sebagai media belajar bagi anak-anak usia balita sampai dengan usia remaja.
Pirimat—pirmat anakat/bot pirmat
Pirimat adalah jenis lagu yang biasa dinyanyikan oleh para seniman tradisional Asmat sebagai salah satu cara mengungkapkan rasa penyesalan atau ratapan tanpa menggunakan alat musik. Melalui pirimat komunitas Suku Asmat menyatakan penyesalan akan sikap tidak terpuji yang mungkin pernah dilakukan terhadap “pihak lain”. Pirimat secara khusus mengungkapkan rapatan orang Asmat terhadap pihak lain yang telah dikurbankan bagi keselamatan atau “kepentingan” diri atau kelompok. Pirimat bernuansa ratapan, bahwa setiap pengorbanan kembali dikenang sebagai tebusan bagi keselamatan orang banyak.
Seperti dalam sow, untuk melagukan pirimat biasanya ada aturan yang sudah pasti dipatuhi dan memiliki kosekwensi tinggi bila tidak diindahkan. Pengungkapan perasaan komunitas Suku Asmat melalui jenis lagu ini selalu melalui prosedur yang baku, waktu yang sesuai dengan tradisi asli, dan penyanyi dengan komposisi baku. Pirimat selalu dinyanyikan pada siang hari dengan tema tertentu, misalnya kelestarian alam, solidaritas, kemenangan, kemalangan, kesuburan, yang terungkap dalam judul lagu. Antara lain Jusu, Juku Asmit, Jukuap, Sow Juku, Topot, Bis, Fasak, Act, Sirat Asimat, dan Sirat Beor. Semuanya judul mengungkapkan pesan moral untuk senantiasa menjaga keseimbangan hidup dengan “warga bumi” yang lain.
Awan—bot awan/pakmu awan—
Berbeda dengan sow dan pirimat, awan/awen lebih familiar dengan masyarakat umum, bahwa untuk menyanyikan lagi ini semua orang diperbolehkan, batasan usia atau jenis kelamin tidak diperhitungkan. Anak – anak remaja sampai dengan warga usia lanjut baik laki-laki maupun perempuan dapat menyanyikan jenis lagu ini. Awan/awen lazim dinyanyikan komunitas Suku Asmat tanpa diiringi alat musik yang sangat berkenaan dengan ungkapan perasaan cinta, baik perasaan erotik maupun perasaan memiliki pihak lain sebagai bagian dari diri, tak jarang ada pengukapan perasaan solideritas dan empati –cinta agape.
Lagu ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis. Pertama, Pakmbu Awan yaitu jenis lagu “awan” yang sudah termaksud dalam satu paket dengan upacara adat tertentu sebagai unsur yang tidak bisa terpisahkan dengan cara apapun. Jenis lagu ini beserta upacara tertentu memiliki legenda atau mitos tersendiri, bila tidak dinyanyikan secara konsisten dengan prosedur dan prosesi ritual, akan menimbulkan ancaman dan bencana bagi individu atau komunitas bersangkutan. Pencipta yang menggubah lagu ini bersifat anonim, tanpa identitas yang jelas. Pada upacara adat di wilayah Joerat, terdapat ritual Imu Pakmu, adalah pesta adat yang paling banyak menggunakan awan sebagai lagu wajib pada malam atau siang hari.
Kedua, Bot Awan yaitu jenis lagu awan yang diciptakan atau disadur dari ratapan seorang bot seman akat ow/cepes dalam kehidupan komunitas. Perbedaan jenis ini dengan pakmu awan , bahwa sang pencipta dan atau orang yang mengaransement lagu ini jelas identitasnya. Dalam hal ini ada yang istimewa, ketika sekelompok orang membawakan jenis lagu ini dalam kesempatan tertentu, maka pemilik—pencipta lagu diwajibkan mempersembahkan sesuatu kepada para penyanyi saat seluruh rangkaian upacara selesai.
Seni Tari
Seni tari diungkapkan melalui bahasa tubuh, adalah ekspresi jiwa sebagai peniruan gerak tertentu dari lingkungan alam sekitar. Bahwa makro kosmos merupakan sumber inspirasi berbagai suku bangsa sejak zaman prasejarah, alam sekitar menghadirkan gerakan yang indah, naluri menangkap, diolah kemudian dihadirkan dalam bentuk seni tari. Pada ritual upacara adat serta acara protokoler seni tari Asmat tampil dalam gerak tubuh yang spesifik. Spesifikasi seni tari Asmat, bahwa estetis gerakan tubuh tidak terlepas dari pengungkapan unsur seni yang lain, yaitu tata rias adat, seni musik, dan lagu. Keseluruhan unsur seni menyatu dalam gerakan yang bermakna. Tanpa kolaborasi antara unsur seni yang satu dengan unsur seni yang lain pada arena pentas, seni tari Asmat akan menjadi fatal—mati dalam seni pertunjukan. Adapun nilai pementasan akan berkurang, bahkan kehilangan makna sama sekali.
Pada setiap pementasan seni tari, baik penari maupun pemirsa akan terhanyut dalam situasi yang spesifik ketika para pemusik dengan mantab memukul tifa, penyanyi melantunkan lagu, adapun tata rias adat menampilan ornament yang artistik, menyertai gerakan lincah dan ekpresi dari para penari. Sebuah pementasan seni tari pasti bermuatan sebagai hiburan, yang berfungsi sebagai penyegaran setelah rasa lelah dan penat. dan sifatnya rekreatif atau hiburan belaka sehingga tidak penting untuk mengetahui lebih jauh dan dalam mengenai seni tari tradisonal Asmat. Akan tetapi, di balik muatan yang bersifat menghibur dan rekreatif tersembunyi nilai-nilai atau pesan terkait dengan gerak dasar tari, fungsi dan aspek emosional gerak.
Jii Ndi
Ekspresi atau ungkapan tari tradisional Asmat lazim dinamai “Jii Ndi“. Secara harafiah, Jii Ndi berasal dari bahasa Asmat dialek sub etnik Joerat, Jii yang berarti bulu burung kasuari dan Ndi berarti goyang atau gerakan. Jii Ndi dalam konteks seni tari berarti gerakan bulu burung Kasuari ketika mengguncang tubuh sebagai ungkapan ekspresif suasana emosi diri. Guncangan tubuh dapat diterjemahkan sebagai bentuk ungkapan kemarahan, kekecewaan atau sebaliknya sebagai ungkapan kegembiraan, karena berhasil mencapai kemenangan. Ketika seekor atau sejumlah burung kasuari memperagakan gerak tubuh akan tampak suatu seni gerak yang tampak indah dan mengesankan.
Penari Asmat merekam gerakan kasuari termaksud, akan tetapi faktor mendasar yang melekat dalam pemikiran sang perekam pada prinsipnya bukan sekedar gerakan kasuari, akan tetapi emosi yang memotivasi gerak. Emosi adalah inti pengungkapan gerak dasar Jii Ndi. Ketika seekor burung kasuari melakukan gerakan, maka unggas termaksud bukan sekedar melakukan demonstrasi pada pihak lain untuk menyatakan, bahwa ia pandai menari. Akan tetapi, kasuari tengah berekspresi, menunjukkan naluri yang paling mendasar. Demikian, maka ketika komunitas Suku Asmat menari dengan gerakan Jii Ndi, secara total penari bersangkutan tengah mengungkapkan emosional, berupa perasaan yang bergejolak di dalam diri—susah, senang, sedih, marah, cemas. Penari dapat meliuk-liukkan tubuhnya sambil mencucurkan air mata, karena sedih, tersenyum, karena senang, dan tertawa, karena gembira. Jii Ndi dalam referensi gerak tarian tradisional Asmat sesungguhnya ungkapan suasana batin, penerjemahan emosi jiwa menuju titik keseimbangan hidup yang diharapkan.
Vaifa Ndi
Secara harafiah, “Vaifa Ndi” berasal dari kata Bahasa Asmat dialek sub etnik Joerat, Vaifa berarti kepompong ulat, Ndi berarti gerakan atau goyang. Vaifa Ndi adalah gerakan dasar tarian tradisional Asmat yang diadopsi atau terinspirasi dari gerakan kepompong ulat. Bagi komunitas Suku Asmat, kepompong bukan sekedar suatu bentuk yang pada akhirnya berubah menjadi kupu-kupu. Kepompong merupakan simbol awal mula kehidupan, merupakan nilai yang memberi inspirasi untuk menapaki kehidupan hari depan. Too Sunum—sarang ulat, bukanlah benda mati, melalui sentuhan tanda kehidupan selalu ada, karena gerakan kepompong. Gerakan terjadi spontanitas, karena naluri terusik dalam sebuah sentuhan. Ketika kepompong dibuka kemudian diletakkan pada wadah tertentu, maka kepompong hendak berontak, muncul gerakan konfrontasi, hendak meninggalkan kurungan untuk melihat dunia luar.
Konfrontasi gerak kepompong merupakan inspirasi pada diri seorang penari tradisional Asmat. Pada pagelaran seni, pesta adat atau ritual tertentu sekalian penari memiliki kesempatan emas untuk menyampaikan ekpresi alamiah dari gerak ulat kepompong. Inswpirasi sekalgus ekpresi gerak kepompong bersifat pribadi sekaligus komunal. Ketika terjadi gejolak atau krisis sosial dalam kehidupan komunitas setempat dengan pihak eksternal, gerakanVaifa Ndi akan tampil ke permukaan sebagai bentuk kritik dan konfrontasi terhadap dinamika social yang ada. Sebab itu, dalam sebuah pagelaran tari, setiap penari tidak memiliki gerakan tang sama persis dengan gerakan penari yang lain. Gerakan setiap penari bersumber dari masing-masing pengalaman hidup, terispirasi gerakan mahluk hidup yang pernah terekam di lingkungan sekitar.
Ea Ndi
Satu lagi gerak dasar tarian tradisional Asmat yang lazim dalam referensi seni budaya Asmat adalah Ea Ndi. Secara harafia, Ea Ndi, berasal dari bahasa Asmat dialek sub etnik Joerat, masing-masing Ea artinya paha –bagi komunitas Suku Asmat paha sebagai anggota tubuh manusia identik dengan daun. Ndi artinya gerakan atau goyang. Ea Ndi secara umum berarti gerakan dasar tarian Asmat yang terpusat pada pangkal paha kiri dan kanan yang bergerak keluar dan kedalam. Gerakan dasar tarian ini mengindikasi gerak dedaunan ketika diterpa angin atau air hujan. Gerakan ini juga menyerupai gerak kepak sayap kupu-kupu, burung atau sayap ikan pari. bahwa istilah Ea meliputi segala sesuatu yang berada di lingkungan sekitar, berbentuk lebar dan secara fungsional dapat menarik sekaligus melepas unsure alam –angin dan air.
Gerak dedaunan, sayap ikan pari, kepak sayap burung atau kupu-kupu, pada hakekatnya mengungkap nilai adaptasi, penyesuaian terhadap situasi dan kondisi yang ada saat itu. Ketika beradaptasi dengan hembusan angin atau arus yang kencang –deras, daun mangrove harus bisa bergerak seirama arah angina tau arus, tanpa meninggalkan pokok subjek, yaitu dahan dan ranting. Pada prinsipnya nilai yang menginspirasi penari bukan terletak pada gerakan “daun” atau “sayap”, tetapi sifat penyesuaian diri dalam kerangka menciptakan dan menjaga keseimbangan melalui cara bergerak sesuai keadaan sampai pada titik yang aman. Secara simbolis gerakan Ea Ndi adalah ungkapan simbolis, menggambarkan cara komunitas Suku Asmat dalam menyatakan sikap adaptif terhadap dinamika kehidupan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan alam sekitar. Secara psikologis sekalian penari mengharapkan suasana kehidupan yang penuh keseimbangan, atau telah mencapai titik keseimbangan yang akan tampak pada puncak dan akhir pentas di atas panggung.
Tar Ndi
Secara harafiah Tar Ndi berasal dari Bahasa Asmat dialek sub etnik Joerat, masing-masing, Tar berarti burung kelelawar atau kaluang, dan Ndi berarti goyang atau gerakan. Tar Ndi secara umum diterjemahkan sebagai gerakan dasar tarian tradisional Asmat yang terinspirasi dari gerak kepak sayap burung kelelawar. Kelebihan atau satu ciri khas kelelawar adalah memiliki kemampuan melihat objek tertentu, seperti buah sukun, buah kenari, buah ketapang sebagai bahan makanan walau dalam situasi gelap di malam hari.
Sifat khas burung kelelawar yang memiliki kemampuan termaksud menjadi nilai inspiratif yang terungkap melalui gerakan Tar Ndi, bukan kelihaian terbang, setinggi atau sejauh mana kelelawar mampu mencapai jarak tempuh. Ketika meniru gerak kepakan sayap kelelawar di atas pentas, maka seorang penari Asmat mengisi ke dalam diri atau menginternalisasi nilai ketajaman, konsentrasi perjuangan hidup, kendati dalam situasi gelap—yang tidak menentu. Dengan memiliki kemampuan untuk tetap konsentrasi serta memiliki ketajaman dalam menentukan sasaran nilai serta bobot—kualitas kehidupan secara perseorangan maupun komunital, maka penari bersangkutan telah memiliki kemampuan kompetensi yang tinggi. Nilai termaksud menjadi suri tauladan yang dicermati sekalian penari, bahwa nilai kesuksesan dalam segala hal, kesinambungan serta kelestarian kehidupan dapat tercapai melalui konsentrasi, kompetisi sesuai kodrat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Fungsi Tari Tradisional Asmat
Gerakan dasar tari tradisional Asmat bukanlah sekedar pengungkapan kekaguman akan kelincahan dan keindahan gerakan tubuh hewan atau dedaunan tetapi sebagai bentuk reaksi konsisten objek inspiratif termaksud. Setiap gerakan yang diadopsi pada prinsipnya mengarah kepada pembentukan karakter manusia Asmat. Pembentukan karakter adalah jembatan emas bagi komunitas Asmat, sehingga kelak menjadi pribadi-pribadi dan komunitas yang bermartabat, beradab mampu menjadi bagian dari seluruh komunitas yang ada.
Seni tari tradisional Asmat tidak terbatas pada kelihaian, kelenturan tubuh untuk menggerakan bagian tubuh tertentu dari seorang penari. Pada pada saat yang sama seni tari Asmat secara simbolik melakukan komunikasi dengan berbagai pihak. Komunikatif terjadi tanpa untaian kata atau panjang lebar narasi, tetapi cukup dengan menggerakan badan. Pemirsa yang memahami bahasa simbolisme seni tari Asmat akan mampu memahami komunikasi dalam media pertunjukkan kemudian meemberikan respon.
Unsur seni selanjutnya yang memiliki peran penting dalam mengekspresikan gejolak jiwa manusia adalah seni dekorasi. Dalam bahasa Asmat seni dekorasi lazim disebut Cesai yang berarti perhiasan. Adapun semua unsur yang memberi nuansa seni dekorasi disebut dengan istilah Cesai Pak atau Toso Pok, istilah ini kemudian dikembangkan sesuai dengan bagian dan media yang menjadi objek dekorasi. Misalnya Kus Cesai Pak—perhiasan kepala, Vemak Cesaipak—perhiasan leher, Sop Cesaipak—perhiasan lengan/tangan, Asa Cesaipak—perhiasan pinggul, dan Emon Cesaipak—perhiasan betis/kaki). Semua jenis perhiasan ini adalah perhiasan tubuh—Dam Cesai. Adapun perhiasan lain memiliki istilah tersendiri, Ci Cesaipak—dekorasi perahu, Je Cesaipak—dekorasi rumah adat, Po Cesaipa—dekorasi dayung, Esa Cesaipak—perhiasan noken.
Tanpa tata rias yang mendukung, maka tubuh, rumah adat, perahu, dayung serta noken akan tampak kusam, kurang menarik, bahkan merisaukan. Rumah megah tanpa sentuhan dekorasi yang artistik, akan tampak seperti bangunan tua. Penari panggung tanpa Dem Cesai—hiasan tubuh yang sesuai, akan kurang tampak menawan, tidak elok sebagai tontonan. Noken dan perahu tanpa tata rias yang artistic, akan mengurangi nilai seni, tidak memberikan kepuasan dan kedamaian bagi pengguna.
Dalam budaya Asmat, pengungkapan unsur seni tanpa sentuhan dekorasi atau tata rias, maka nilai estetis yang terkandung di dalamnya akan kehilangan makna. Penari tanpa rias, ukiran/ patung tanpa rias, bernyanyi dan menabuh tifa tanpa rias adalah hal yang tidak mungkin dalam seni budaya Asmat. Seni dekoratif memiliki peran yang sangat penting dalam pengungkapan unsur kesenian yang lain.
Ada beberapa hal penting dalam seni dekorasi pada tradisi masyarakat Asmat. Pertama, terkait dengan sumber bahan, terlebih sebelum mengenal dunia luar, komunitas Suku Asmat memanfaatkan seluruh materi dasar dekorasi dari alam sekitar. Untuk membuat rumbai atau Awar/ tjok—perhiasan pinggang, pengrajin memanfaatkan pisis/ junum—daun sagu muda, cuus pom—daun buah manis, jua—daun rumput pisau. Daun-daun ini memiliki warna yang indah sebagai bahan dasar dekorasi.
Komunitas Suku Asmat memiliki tradisi dekoratif pada beberapa media. Media yang paling sering menjadi tempat pengungkapan seni ini antara lain tubuh manusia, patung atau ukiran, perahu, dayung, noken dan rumah adat.
Dekorasi Tubuh Manusia
Pada setiap pementasan seni, masing-masing pemeran akan tampil istimewa dengan tata rias tradisionil. Seluruh tubuh akan dipenuhi ornament unik, lumuran perpaduan tiga warna, esakam—merah, fasak—putih, dan jak/sosok—hitam. Pada prinsipnya penampilan itu berceritera tentang identitas diri serta suasana hati. Tiada kebohongan atau spekulasi dalam bersikap, walaupun kata-kata yang terucap menyatakan hal yang berbeda. Bagi komunitas Suku Asmat dekorasi tubuh bukan sebagai ungkapan estetika semata, akan tetapi sebagai penegasan dan pernyataan jiwa dalam merespon dinamika kehidupan.
Warna merah disebut juga wasa, terbuat dari tanah merah melalui proses pembakaran sedemikian rupa hingga mendapat rupa yang sesuai kehendak. Warna putih disebut bii, terbuat dari proses pembakaran kulit kerang/siput yang ditumbuk halus hingga menjadi bubuk putih. Sementara warna hitam—sosok/jak, terbuat dari proses pembakaran gabah pelepah sagu atau sayatan daging/ ranting kayu tertentu sesuai tradisi setempat.
Tiap bagian tubuh dikenakan perhiasan atau ornament pendukung sesuai nilai yang dianut. Perhiasan yang dominan di kepala para seniman di saat pentas adalah paduan kulit serta bulu vacin—kuskus dan see fin/jinis—bulu burung pombo putih, bulu burung beor jinis—nuri bulu burung jir fin—kakatua putih.Pada bagian wajah lazim dilumuri dengan kapur berwarna tertentu sebagai pernyataan suasana dan niat pribadi atau kelompok. Dominasi warna merah mencerminkan ungkapan sikap keberanian dan rela berkorban dalam segala hal untuk mencapai suatu tujuan. Dominasi warna hitam adalah indikasi mengobarkan tantangan kepada pihak lain. Sebaliknya mendekorasi wajah dengan kapur putih mencerminkan persahabatan, ketulusan, keihlasan, kedamain dengan pihak lain.
Bagian hidung dilengkapi Bipana –perhiasan hidung yang secara simbolis memberi keterangan tentang status social tinggi dalam komunitas. Pada masa lampau bipana terbuat dari oow okos —taring babi hutan atau taring bini okos—ular piton. Dewasa ini para seniman dapat membuat bipana imitasi dari bahan plastic yang jauh lebih ringan. Menurut penuturan bapak Kasianus Amepo dari Kampung Botarpes—Jani awal bulan Novermber 2014, bahwa dekorasi buatan itu tidak bertuah lagi. Proses dan prosedur beresiko yang ditanggung seniman memberi bobot pada karya seni itu. Perhiasan ini berbentuk setengah lingkarang dengan kedua ujung buntu tidak saling bertemu, cenderung pipih dan tajam. Dua makna ekspresif terkandung pada posisi letak taring bipana. Komposisi setengah lingkaran terbuka ke atas mencerminkan ancaman bagi pihak lain, sebaliknya posisi terbuka ke bawah mengindikasikan persahabatan.
Perhiasan kepala lain lagi yang lazim digunakan adalah jinit, berupa anyaman tali pintalan kulit fum seman—genemo, berbentuk seperti topi dengan variasi tertentu. Perhiasan yang lain adalah pii jii, dekorasi kepala berupa anyaman pengikat kepala yang dilengkapi rumbai bulu burung kasuari. Perhiasan semacam ini akan selalu tampil saat pementasan tari-tarian adat.
Dekorasi Ukiran
Tanpa dekorasi atau rias ukiran Asmat akan tampak seperti “kayu tanpa nilai”. Artinya hasil karya patung atau ukiran itu tidak menambah bobot nilai lebih yang mengundang simpatik dan kekaguman diri dan pemerhati. Dekorasi ukiran disesuaikan dengan makna patung yang ditampilkan, sehingga patung termaksud memiliki daya pikat tersendiri. Seorang seniman harus mampu mengagumi karya seni yang diciptakan, sebelum pemerhati atau kolektor seni menyatakan kekaguman. Seniman adalah subjek yang menyaksikan karya agung jagat kosmos kemudian menterjemahkan dalam bentuk karya imitativ kosmos.
Ada tiga hal penting yang lazim tampak dalam dekorasi seni ukir, yaitu penggunaan pewarna, tato dan ornament. Pertama, dalam hal pewarnaan ukiran seperti patung Mbis, Jeer Mbi, Wuramon, Pir dan jenis ukiran lainnya pemilihan warna disesuaikan dengan atensi, bahwa warna merah, putih dan hitam masing-masing mewakili suasana batin seniman atau suasana hati semua warga komunitas. Fakta dominasi warna tertentu selalu menunjukan kecenderungan suasana hati. Warna wasa—merah cenderung sebagai penegasan suasana batin dan sikap—bukan sifat karena factor situasional semata, seperti keberanian, rela berkorban, dan ancaman atau tantangan bagi pihak lain. Warna bii—putih cenderung sebagai ungkapan toleransi, persahabatan, perdamaian, kejujuran, ketulusan, dan tatanan nilai, mengedepankan etika, moral serta nilai-nilai keagamaan dan memposisikan setiap pihak lain sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Warna jak sosok—hitam cenderung sebagai ekspresi keadaan batin atau jiwa yang galau, suram, terancam dan tantangan bagi pihak lain, sama seperti makna warna merah. Komposisi warna mencerminkan suasana batin. Komposisi warna sebagai ungkapan suasana batin kadangkala tidak disadari oleh para pelaku, karena simbolisme ini sudah menyatu dengan sikap dan perilaku keseharian yang belum tentu dikenali atau disadari seniman bersangkutan.
Kedua, kiki—tato sebagai dekorasi tambahan pada ukiran patung Asmat juga memiliki nilai tersendiri bagi. Secara estetis kiki –tato adalah goresan atau sayatan alur pelumuran warna dekoratif tertenu. Dari aspek filosofis, kiki sesunguhnya mengungkap celah kepribadian yang bersumber dari bagian tubuh objek ukiran bersangkutan. Kiki seakan tanda kecenderungan nilai perilaku dan kepribadian tertentu yang ditunjukan melalui warna pada goresan tubuh. Beraneka bentuk kiki adalah titik, koma, garis, dan lingkaran penuh pada bagian wajah (pipi), tangan (lengan), siku, dan pergelangan tangan, kaki paha, betis, lutut dan mata kaki, dada, rusuk dan bagian belakang.
Ketiga, ornament pada ukiran karya seni pahat.
Rumah Adat
Rumah tinggal komunitas Suku Asmat tidak berdekorasi khusus, dengan alasan, pertama, awal mula strategi pertahanan hidup masyarakat setempat adalah berburu dan meramu, berpindah-pindah. Rumah bukanlah bangunan fisik yang berfungsi sebagai tempat menetap. Cukup sebagai persinggahan ketika strategi berburu dan meramu berlangsung. Kedua, komunitas Suku Asmat betahan dalam situasi perang serta adat mengayau, suatu situasi genting yang menyebabkan dekorasi rumah tinggal menjadi hal yang terabaikan. Mendekor rumah tinggal keluarga di pandang sebagai tindakan melanggar adat, aib harus dihindari.
Akan tetapi jew –rumah adat Asmat memiliki fungsi berbeda, sungguhpun strategi pertahanan hidup, berburu meramu, dan mengayau masih tetap berlangsung. Jew sebagai pusat kehidupan komunitas adalah symbol kehadiran sekaligus penjelmaan Je Ahmit—dewa matahari. Suatu hal utama dalam seni dekorasi adalah menghias jew, pada tiang utama ukiran roh leluhur ditanamkan. Sungguhpun telah tinggal pada alam roh, akan tetapi leluhur tetap hadir m enyatu dalam kehidupan hari ini.
Adapun bahan dekorasi Jew antara lain, Pisis—daun sagu muda, James—salawaku/tameng, Amon-Ces—busur-panah, Ocan/ Puu—tombak, Bii—kapur putih, Wasa—kapur merah. Sebelum dipajang pisis dipisahkan antara tulang—lidi dari helai daun, kemudian dirobek sehingga menjadi bagian yang kecil dan halus, tanpa melepaskannya dari tangkai utama—pelepah sagu. Pisis yang sudah siap dipajang atau digantung pada beberapa posisi, seperti Jee Ko—teras, Beerpo—tangga, Bisip-Joose—tungku, Jee Jimasap—pintu keluar masuk.
Bahan dekorasi yang lain adalah James—salawaku-tameng. James merupakan peralatan perang yang memiliki fungsi pelindung dan penghalau serangan pihak musuh. Salawaku yang dipajang bukan tanpa dalil, tetapi sebagai bentuk symbol pertahanan diri dari serangan musuh.
Perahu baru
Sarana transportasi utama dalam kehidupan Komunitas Suku Asmat adalah perahu lesung. Tanpa perahu aktivitas berburu dan meramu tidak dapat diteruskan, aktivitas termaksud selalu dikerjakan dengan melewati sungai dan laut, perahu lesung adalah sarana utama. Dengan mendayung perahu masing-masing keluarga bukan hanya mengumpulkan makanan, akan tetapi dapat pula mengunjungi kerabat yang menetap di seberang sungai. Sebagai sarana transportasi yang penting perahu layak dihias dengan Pisis.
Dayung
Tanpa dayung perahu akan kehilangan fungsi, tidak mampu berperan sebagai sarana mobilitas. Sebaliknya dayungpun tidak akan berfungsi tanpa perahu. Dayung dapat pula berfungsi sebagai tombak dalam situasi kritis ketika seorang pendayung mendapat ancaman dari hewan air atau darat.
Po cesai —dekorasi dayung tampak pada tiga bagian. Pertama po ben —dekorasi pada bagian bawah yang menyerupai selembar daun. Kedua po emak—dekorasi dayung pada bagian tengah berupa, stik bulat. Ketiga, po epmak—dekorasi dayung bagian atas yang menyerupai tombak. Po mben—ujung bagian bawah berfungsi sebagai penarik dan melepas air yang menimbulkan daya dorong, sehingga perahu bergerak dari posisi semula saat bepergian. Bagian ini lasim diukir dengan relief panel berupa gambar kupu-kupu atau ikan pari yang membentangkan sayap, sebagai harapan, bahwa roh dari hewan bersangkutan akan memberi daya gerak menghantar pendayung dengan cepat.