WANITA ASMAT DAN SENI

Oleh: Ursula Konrad

Kunjungan menikmati pameran benda seni yang terdapat di Museum menarik perhatian kami, ke masalah bahwa secara harfiah semua benda seni itu dibuat oleh lelaki-lelaki. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan: Apakah di Asmat hanya ada seniman-seniman pria? Memang, kegiatan ukir-mengukir aneka benda dari kayu — yang digunakan baik dalam upacara maupun benda dalam kehidupan sehari-hari — hanya boleh dilakukan oleh kaum pria saja. Dan ini pun berlaku pula untuk patung-patung modern yang hingga saat ini selalu dibuat oleh seniman pria

Dalam penelitiannya terhadap wanita-wanita dari masyarakat pra aksara, para ahli antropologi wanita, yakni Camilla Wedgwood, Hilde Thurnwald, Phyllis Kabery, Mary Reay, Catherine Berndt dan di kemudian hari Margaret Mead serta Brigitta Hauser-Schaublin, mengadakan pengamatan penting dan sah untuk ilmu etnologi. Mereka mengamati bahwa dalam kajian penelitiannya yang dahulu, selain beberapa perkecualian yang jarang ada, hanya ada sekitar separuh dari anggota paguyuban itu yang dikenal, karena data budayanya diperoleh dari kaum pria oleh ahli etnologi pria. Para ahli etnologi ini memusatkan perhatiannya pada kaum lelaki sebagai informan dan mereka ini banyak yang mengabaikan atau tidak dapat mendekati kaum wanita dengan enak. Hasilnya adalah bahwa data budaya yang disajikan para peneliti hanya berasal dari segi pandang kaum pria dan tidak termodifikasi atau diperkaya oleh sudut pandang kaum wanita.

Pada kunjungan pertama kami untuk mengadakan penelitian di tengah orang Asmat pada awal tahun 1970-an, saya langsung menjadi sadar akan kehadiran kaum pria yang dominan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa mereka mungkin akan sulit dapat memperoleh data penelitian dari wanita-wanita penduduk desa. Ketika kami tiba di suatu desa tertentu, suami saya dan saya dengan cepat dikerumuni oleh kaum pria. Mereka menyambut baik kedatangan kami, membawakan perkakas kami, dengan cepat membersihkan gubuk tempat tinggal kami, dan menyelisik kami cermat-cermat sebelum kami memadamkan lilin-lilin penerang kegelapan malam. Wanita-wanita berdiri menjauh dan memandang kami dari kejauhan. Baru ketika saya meninggalkan kaum pria itu dan berjalan masuk desa, wanita-wanita mendekati saya dan memasukkan saya ke lingkaran kelompok mereka. Pada hari-hari ketika suami saya pergi berburu bersama kaum pria, wanita-wanita itu masuk ke gubuk kami. Pada saat-saat ini mereka merasa bebas berbicara mengenai hal-hal yang dirasa penting bagi mereka. Mereka mengisahkan isi rahasia nyanyian-nyanyian, dan dengan banyak tertawa berbicara mengenai ketegangan-ketegangan yang dialami dalam kehidupan nikah mereka, tetapi juga berbicara mengenai suka maupun-duka pengalamannya.

Jika ungkapan seni upacara pada bahan kayu merupakan hak istimewa seniman-seniman pria, maka anyam-mengayam beberapa benda upacara dari berbagai rumput dan serat dilakukan oleh seniwati-seniwati kondang. Wanita-wanita berbakat ini dihormati oleh orang-orang desa sebagai cescu cepes. Hanya wanita-wanita tua yang dihormati karena keterampilan dan kecakapan mereka untuk membuat lambang-lambang keagamaan secara artistik, menganyam ikat lengan keupacaraan—Kon, dan tikar-tikara penutup—pir, yang digunakan untuk tempat ulat sagu selama upacara. Hiasan berupa lambang-lambang pada tikar semacam itu mirip dengan lambang-lambang ukiran relief pada perisai. Anyam-anyaman ini tetap mempunyai nilai dan dayanya setelah pesta-pesta itu selesai. Maka anyaman pun lalu disimpan dan disembunyikan untuk digunakan pada pesta-pesta berikut, dan diperbaiki jika terjadi kerusakan serta dicat ulang. Umpamanya, selama tiga generasi mereka menyimpan, memperbaiki dan menggunakan tikar pada waktu upacara jimi pir. Erakas dan Jere menganyam tikar ini. Seranjak Tiwiri mewarisi tikar ini dan kemudian memberikannya kepada anak lelakinya, Adam Berwir, Adam dan anak laki-lakinya, Bruno Berwir menjualnya.

Wanita-wanita dani banyak desa dengan semangatnya menanggapi pertanyaan-pertanyaan saya yang senantiasa saya ajukan dan menyambut minat saya pada pola-pola anyaman mereka. Minat saya memberikan dorongan kepada mereka untuk mengembangkan ciptaan-ciptaan baru. Kadang kala ciptaan-ciptaan ini menyajikan gambar-gambar baru yang digabungkan dengan gambar-gambar yang secara tradisional ditampilkan pada anyaman-anyaman. Beata dari desa Atsj dan sejumlah wanita lain dari desa, sebagai misal, membuat anyaman bergambar binatang atau manusia pada anyaman-anyaman kecil. Wanita-wanita dari Sawa, yang mungkin diilhami oleh Vince Cole, membuat anyaman besar dengan lukisan yang menggambarkan adegan kelahiran Kristus untuk masa Natal yang mereka tempatkan di tengah susunan gambar-gambar tradisional; selain itu, mereka pun membuat tikar lebar yang memperlihatkan kehidupan binatang yang dikenal oleh orang-orang Asmat. Ini disebutkan sebagai beberapa contoh perubahan reka cipta yang disajikan pada dunia anyam-menganyam yang memperlihatkan kemampuan berkhayal wanita-wanita Asmat. Sungguhpun di banyak desa seniwati-seniwati masih saja melukiskan lambang-lambang pada hasil anyaman mereka, termasuk kantong, rok, sabuk tari dan perkakas-perkakas lain, namun sekarang ini mereka pun mulai melangkah mengembangkan daya reka cipta mereka berkat ilham reka cipta dari wanita-wanita desa lain. Ciptaan-ciptaan baru itu memperlihatkan cairnya gerak yang dulu belum pemah disajikan dalam gaya anyam-menganyam tradisional.

Apabila seniman-seniman memperoleh sambutan hangat dari dunia internasional berkat kemampuan seni mereka, maka seniwati-seniwatinya pun mendapatkan sambutan yang serupa. Ini memberikan rasa bangga atas prestasinya kepada seluruh anggota masyarakat.

Seniwati-seniwati memang menyulut rasa iri pada wanita-wanita desa yang tidak begitu berbakat. Oleh karena itu, kadang kala, wanita-wanita ini lalu meminta agar seniwati-seniwati yang sukses jangan menghasilkan karya-karya baru lagi supaya dengan demikian mereka memberikan kesempatan kepada yang lain untuk menjual anyaman-anyaman mereka ke khalayak ramai. Bentuk tekanan sosial ini kerap kali dialami oleh seniman-seniman (wo cescu ipit) yang berulang kali memenangkan hadiah pada Lomba Seni Tahunan.

Sayang, Museum tidak memamerkan contoh-contoh seni wanita-wanita, karena benda-benda ini cepat melapuk dan rusak akibat ulah serangga. Usaha untuk memasukkan bendabenda seni anyam-menganyam ke Lomba Seni Tahunan gagal karena masalah-masalah organisasi dan waktu kurang. Namun, untuk survai komprehensif ciptaan seni orang Asmat, dalam terbitan ini disajikan beberapa dari karya reka cipta wanita-wanita itu. Benda-benda yang disajikan di sini adalah milik koleksi Konrad.

Tikar Tradisional (pir). Erakas dan Jere. Er 1993.
Tikar Tradisional (pir) Marta Toyakap, Er 1995.
Desain tikar modern. Agustina Bib. Erma 1997.
error: Content is protected !!