PAKAIAN ROH
Sebagaimana seniman Asmat membuat alam tak kasat mata menjadi dunia
kasat indra dengan ukiran-ukiran bersosok manusia yang melambangkan roh-roh,
demikian pula mereka membuat kehadiran mereka menjadi kasat indra sebagai
pengalaman hidup dengan menggunakan busana pada upacara-upacara. Upacara busana
roh sepengetahuan orang terjadi di semua kelompok Asmat. Namun, hingga
sekarang, belum ada upacara busana roh yang teramati oleh orangorang asing,
entah di tengah orang Bras, entah di kalangan orang Yupmakcain. Pada umumnya,
semua orang membuat dua macam busana roh. Yang pertama menggambarkan roh
seorang anggota keluarga yang telah meninggal. Untuk tiap pesta dibuat seyumlah
busana. Yang kedua adalah satu busana yang menggambarkan seorang anak yatim
piatu tokoh kisah yang diceritakan dalam mite. Namun orang Emari Ducur membuat
busana roh tambahan jenis lain. Busana ini menggambarkan seorang wanita tua
yang dikisahkan dalam sebuah mite.
Yang pertama adalah yang disebut entah bi jumbo, dat jumo, dato, det
or doroe, di berbagai suku Asmat. Busana-busana ini mewakili roh-roh yang
jumlahnya berkisar antara enam hingga dua puluh, yang kembali ke bumi untuk
merayakan perayaan dengan orang-orang yang masih hidup, sebelum mereka
dibebaskan dan didesak agar pergi ke alam roh — alam Safan. Pada akhir upacara
busana roh itu, janur sagu pada rok dan lengan disingkirkan dan dibakar.
Beberapa busana tanpa janur disimpan di rumah upacara dengan segala kekuatan
penuh roh itu untuk melindungi dan memberdayakan masyarakat. Yang lain-lain
dibawa ke hutan dan di sana ditaruh di antara akar-akar pohon beringin atau
antara daun-daun muda pohon sagu untuk dibusukkan. Pohon-pohon yang
diperlakukan seperti ini adalah pohon keramat dan tidak boleh ditebang. Busana
yang disimpan di rumah upacara disebut biw oleh orang Simai dan digunakan
secara rahasia, tanpa dilihat oleh wanita-wanita dan anak-anak, untuk membuka
upacara-upacara jenis lain. Apabila yang dirayakan adalah pesta yipai lainnya,
maka orang Simai akan mengecat dan menghias busana itu lagi dengan janur sagu
sebagai langkah untuk menjelmakan roh-roh baru, yakni roh-roh orang yang belum
lama ini meninggal. Penutup kepala dan torso busana ini disulam dari tali lulup
pilin yang diperoleh dari pohon besaran, dan dicat dengan warna merah dan
putih. Papan kayu yang diukir dengan celah-celah menggambarkan mata. Lengan
baju dan rok dari untaian daun sagu melengkapkan busana itu. Beberapa kelompok
orang menyangkutkan pancang yang dihias di mahkota.
Yang kedua adalah busana satu roh saja, busana yang disebut bunmar,
manimar atau biu di berbagai kelompok Asmat. Busana menggambarkan yatim piatu
yang dikisahkan dalam mite dan muncul beberapa hari sebelum kedatangan roh-roh
orang yang telah meninggal. Busana dianyam dari bilah rotan dalam bentuk
kerucut anyam; pada kerucut disangkutkan rok janur sagu. Di bagian atas
disangkutkan bagian upih sagu pipih atau gambaran kura-kura yang diukir.
Busana ketiga menggambarkan seorang wanita, seorang tokoh mitologi,
yang disebut jiwawoka. la membuka upacara je ti pada masyarakat Emari Ducur.
Busana ini terdiri atas kepala berbentuk kerucut dan torso untaian daun sagu
yang diikat dengan bilah rotan hingga membentuk lima tumpuk di mahkota kepala.
Mata dibuat dari papan ukir lonjong yang disemarakkan dengan cincincincin dari
bulu kasuari. Ikat lengan dan ikat pinggang dianyam dari bilah rotan yang
diberi warna merah. Pada ikat ini disangkutkan untaian daun sagu sehingga
dengan demikian terbentuklah lengan panjang dan sebuah rok.



